Sebagai seorang dengan darah Sumatra Barat, tentunya kuliner daerah tersebut sudah saya kenal sejak kecil. Menikmati rendang yang pedas bersama keluarga adalah hal yang biasa. Namun, ada satu hidangan yang sangat spesial, yang jarang dihidangkan di rumah.
Masakan tersebut juga menjadi spesial karena merupakan masakan yang berasal dari kampung halaman ibu saya, yaitu Kota Gadang, Bukittinggi. Masakan tersebut tak lain adalah “itiak lado mudo” yang di keluarga saya lebih sering disebut sebagai “gulai itiak.” Oleh orang-orang Jakarta, makanan ini dikenal dengan nama “itik cabai hijau”. Memang hidangan tersebut terdiri dari itik muda yang dilumuri oleh sambal hijau yang lezat.
Hidangan tersebut tidak tersedia di semua rumah makan di Bukittinggi, hanya beberapa yang menjualnya karena proses pengolahannya yang cukup lama. Sebagaimana tradisi di Kota Gadang, kami sekeluarga di Jakarta hanya menghidangkan gulai itiak pada acara hajatan dan hari besar keagamaan. Pada hari-hari tersebut, kami sekeluarga akan berkumpul di rumah bibi tertua dari pihak ibu saya (yang saya panggil maadang) dan menikmati hidangan gulai itiak bersama. Oleh karena itu, untuk mencicipi gulai itiak ini memang merupakan sesuatu yang spesial buat saya dan sangat saya tunggu-tunggu pada saat Idul Fitri!
Kalau membaca mengenai sejarah dan tradisinya, gulai itiak itu adalah hidangan yang biasa dihidangkan ketika panen. Karena hadir hanya pada saat-saat khusus atau upacara penting, pada masa lalu, masakan ini pun disebut sebagai gulai adat.
Hidangan ini memang cocok diperuntukan hari-hari istimewa karena proses memasaknya pun memerlukan waktu lama dan keterampilan khusus. Menurut maadang saya, pertama, itik yang sudah disembelih dan dibersihkan diasapi di atas bara arang selama sekitar lima menit. Setelah itu, itik akan dimasak untuk kedua kalinya di kuali dengan api kayu bersama cabai dan rempah-rempah yang sudah diracik dan dihaluskan. Lama memasak gulai itik bisa hingga 12 jam dengan api yang kecil agar bumbu meresap ke serat-serat daging dengan sempurna.
Ada hal-hal yang tidak diketahui masyarakat pada umumnya tentang gulai itiak. Misalnya, bahan pokok yang digunakan dan tradisi menyantap hidangan tersebut.
Meski sering disebut sebagai itik cabai hijau, aslinya gulai itiak tidak menggunakan cabai hijau, melainkan cabai merah. Cabai merah ini dipetik ketika masih muda dan masih berwarna hijau. Karena warna sambalnya yang hijau, kemudian banyak orang menyebutnya sebagai itik cabai hijau.
Banyak orang juga bertanya kenapa gulai itiak itu bisa begitu empuk dagingnya. Selain karena dimasak dengan waktu yang cukup lama, itik yang menjadi bahan tidak sembarang itik. Itik yang dipilih harus yang berumur di bawah enam bulan agar dagingnya masih empuk dan tidak alot.
Konon, nenek moyang dari Nagari Sianok dan Koto Gadang, dua tempat di Bukittinggi yang diketahui sebagai asal tradisi kuliner gulai itiak, tidak menyantap gulai itiak bersama nasi. Berbeda dengan kebiasaan masyarakat sekarang, nenek moyong orang Minang menyantapnya dengan ketupat dari ketan yang dimasak dengan santan.