COLENAK atau “dicocol enak” adalah makanan khas tanah Parahyangan. Ia dibuat dari peuyeum sampeu (tape singkong) yang dibakar lalu dihidangkan dengan saus terbuat dari lelehan gula merah dicampur kelapa.
Seiring perjalanan waktu, terdapat banyak varian colenak yang dikembangkan oleh para pedagang. Salah satunya colenak Bogor. Di sini peuyeum yang sudah dibakar disajikan dengan taburan unti (campuran kelapa parut dan gula merah yang dimasak sampai agak kering) dan disiram saus santan.
Ada juga colenak durian khas Bandung. Sausnya terbuat dari campuran durian matang dengan lelehan gula merah. Lain lagi colenak pisang tape. Peuyeum diselipkan dalam potongan pisang kepok lalu dibakar.
Kata Chye Retty Isnendes, sekretaris Asosiasi Tradisi Lisan (periode 2010-2019), dalam makalah “Peuyeum Bandung Makanan Tradisional yang Terkenal (Folklor Bukan Lisan dari Jawa Barat)” pada Konferensi International Folklor Asia III 2013 di Yogyakarta, peuyeum yang dibuat menjadi colenak bisa lebih awet. Pasalnya, peuyeum itu dibakar lebih dulu atau ada juga yang dikukus. Hasil bakaran atau kukusan peuyeum bisa disimpan di kulkas sebagai bahan membuat colenak selanjutnya.
Karena peuyeum memiliki kadar gula yang tinggi akibat proses fermentasinya, pembakaran peuyeum tidak perlu dilakukan terlalu lama karena akan mudah gosong. Meski demikian, bagi sebagian orang, sisi yang gosong akibat terbentuknya karamel inilah yang dianggap bagian paling nikmat dari colenak.
Peuyeum adalah sebutan urang Sunda untuk tapai. Konsep pengolahannya sama. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, peuyeum artinya penganan yang dibuat dari ubi kayu yang direbus dan setelah dingin diberi ragi, kemudian dibiarkan semalam atau lebih hingga manis.
Dohra Fitrisia dan Dwi Widayati dalam “Changes in Basic Meanings form Proto-Austronesian to Acehnese” yang terbit di jurnal Studies in English Language and Education Maret 2018, mengungkapkan tapai ditemukan pertama kali oleh orang-orang Proto-Melayu. Kata “tapai” berasal dari bahasa Proto-Melayu-Polinesia yakni “tapay” atau Proto-Austronesian yakni “tapaj”. Itu berarti fermentasi.
Menurut Chye Retty Isnendes, sebagaimana umum berlaku di Tatar Sunda, penamaan makanan disesuaikan dengan cara pengolahannya. “Pengolahannya diberi ragi lalu dibiarkan semalam atau lebih. Dalam bahasa Sunda dipeuyeum atau diperam, sehingga namanya pun menjadi peuyeum,” jelas dia.
Singkong, sebagai bahan dasar pembuatan peuyeum, naik daun di kalangan masyarakat Sunda paling tidak pada masa Bupati Bandung R.A.A. Martanagara (1893-1918). Namun yang tercatat waktu itu adalah olahan singkong dalam bentuk tapioka. Karena tapioka sedang laku di pasaran dunia, Martanagara menginstruksikan penanaman singkong. Berkat tapioka, kemakmuran wilayah Bandung, baik di kota maupun pedesaan sekitarnya, meningkat setiap tahun.
Ditulis G.W.J Drewes, seorang orientalis Belanda yang menerjemahkan autobiografi sang bupati dalam “The Life-Story of an old-time Priangan Regent as told by himself” terbit di Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 141 (4), saat itu terdapat sebuah pabrik tapioka milik seorang Tionghoa yang terletak di Dago. Ia dilaporkan memasok 200 pikul tapioka setahun ke Batavia.
Pada 1912, atas permintaan Asisten Residen Van Zuijlen, Martanagara mencatat tapioka yang dikirim kereta api dari semua stasiun ke Batavia. “Tampak dari catatan para kepala stasiun di Nagreg, Cicalengka, Rancaekek, Gedebage, Bandung, Cimahi dan Cipatat, 310.000 pikul tapioka dikirim untuk kemudian diteruskan ke Eropa setiap tahun,” catat Martanagara, dikutip Drewes.
Peuyeum, diyakini Chye Retty Isnendes, kemungkinan sudah dikenal bersamaan dengan melejitnya popularitas tapioka. Malah bisa jadi lebih dulu. Chye mencatat berbagai tradisi lisan yang diabadikan orang Bandung terkait peuyeum, yakni pupuh magatru: peuyeum sampeu dagangan dari Rancapurut, dijual dua saduit, ditutupi daun waru, dibungkus daun jati, makanan bagi orang ompong.
Ada lagi kakawihan (tembang) “colenak beuleum peuyeum digulaan” yang berkembang ketika perjuangan fisik. Hal itu menandakan bahwa panganan tersebut populer dan menjadi bagian dari perjuangan rakyat Jawa Barat, terutama bagi para pejuang dan tentara Siliwangi. Karenanya menurut Chye, secara sosial peuyeum, khususnya colenak, sudah benar-benar mengikat jiwa urang Sunda.
Istilah “peuyeum digulaan” (tape diberi gula), sebagaimana lirik dalam lagu di atas, memang lebih dulu dikenal ketimbang colenak. Yang mempopulerkannya adalah Pak Murdi. Dia berjualan peuyeum digulaan sejak 1930-an. Atas permintaan para pelanggannya, akhirnya nama itu diganti menjadi colenak seperti yang sekarang dikenal.
Pada awalnya Pak Murdi hanya menyediakan colenak rasa original yang dikemas dengan bungkus daun pisang. Kini, keturunannya mengembangkan colenak dengan tambahan varian rasa durian dan nangka. Toko sekaligus rumah pembuatan Colenak Murdi Putra berada di Jalan Ahmad Yani No. 733 Cicadas, sekira 200 meter dari Terminal Cicaheum, Bandung. Colenak juga bisa ditemukan di Bandung dan sekitarnya.